Belakangan ini, kita sering banget denger istilah quiet quitting di berbagai media sosial. Buat Gen Z, istilah ini kayaknya langsung resonate, apalagi buat mereka yang ngerasa bosan sama budaya kerja yang terus-terusan nge-push buat selalu lebih dan lebih lagi. Tapi, sebenernya apa sih quiet quitting itu? Dan kenapa tren ini jadi hits di kalangan anak muda? Yuk, kita bahas lebih lanjut!
Apa Itu Quiet Quitting?
Quiet quitting sebenernya bukan berarti resign atau keluar dari kerjaan secara diam-diam, ya. Ini lebih ke konsep “berhenti” ngelakuin hal-hal ekstra di luar job description yang udah ditetapin. Jadi, orang-orang yang “quiet quitting” memilih buat kerja sesuai tanggung jawab minimalnya aja, tanpa usaha lebih, lembur nggak dibayar, atau ngelakuin tugas tambahan yang nggak seharusnya.
Intinya, mereka tetap menjalankan tugas, tapi nggak mau ikut terlibat dalam budaya kerja yang bikin mereka harus jadi overachiever setiap waktu. Buat beberapa orang, ini adalah bentuk protes halus terhadap budaya hustle yang menuntut mereka selalu memberi lebih dari yang dibutuhkan.
Kenapa Gen Z Suka Tren Ini?
Ada beberapa alasan kenapa quiet quitting jadi populer banget di kalangan Gen Z:
- Self-Care Lebih Diutamakan: Generasi sekarang makin sadar pentingnya kesehatan mental. Mereka lebih milih buat menjaga well-being daripada kerja keras sampai stres. Quiet quitting dianggap sebagai cara buat ngatur batasan supaya hidup nggak cuma soal kerja, tapi juga tentang jaga kesehatan jiwa.
- Melawan Budaya Hustle: Gen Z cenderung nggak sepenuhnya setuju sama pandangan “kerja keras mati-matian = sukses.” Mereka lebih percaya pada kerja efektif dan efisien, bukan kerja berlebihan. Dengan quiet quitting, mereka kayak ngirim sinyal kalau hustle culture nggak harus diikutin buat bisa sukses.
- Work-Life Balance Itu Penting: Buat Gen Z, keseimbangan hidup dan kerja adalah hal yang harus dijaga. Mereka lebih milih punya waktu buat keluarga, teman, atau sekadar buat diri sendiri daripada ngabisin seluruh waktu dan energi buat kerjaan.
Apakah Bikin Kinerja Menurun?
Banyak yang nanya, apakah orang yang “quiet quitting” berarti kinerjanya buruk? Nggak juga, lho! Mereka tetep profesional, ngerjain tugas tepat waktu dan dengan hasil yang baik. Bedanya, mereka nggak mau “over” dan nggak mau terjebak dalam ekspektasi kerja yang bikin mereka harus selalu stand by atau ngambil tanggung jawab lebih.
Orang yang menjalankan tren ini bukan berarti mereka malas atau nggak ambisius. Mereka cuma milih buat menjaga batasan dan nggak terjebak dalam pola kerja yang nggak sehat. Dengan begini, banyak dari mereka malah bisa kerja lebih produktif dan punya motivasi yang stabil.
Tanda-Tanda Kamu Mungkin Lagi Quiet Quitting
Gimana kita bisa tahu kalau kita lagi quiet quitting? Ini beberapa tanda-tandanya:
- Kamu ngerjain semua tugas, tapi nggak ngambil inisiatif ekstra.
- Kamu bener-bener stick sama jam kerja dan nggak mau nambah waktu lembur tanpa bayaran.
- Kamu jadi lebih memprioritaskan waktu di luar kerja buat me-time atau ngurus hobi.
- Kamu nggak lagi pengen ikut kompetisi di tempat kerja buat jadi “karyawan terbaik” karena kamu merasa itu bukan tujuan utamamu.
Apakah Quiet Quitting Bisa Berdampak pada Karier?
Tentu aja, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Di satu sisi, quiet quitting bisa bantu kita ngejaga kesehatan mental dan kehidupan pribadi. Tapi, ada juga risiko di mana bos atau manajemen mungkin menganggap kita nggak cukup berkomitmen buat berkembang di perusahaan. Jadi, penting banget buat kita bisa ngejelasin secara profesional kalau kita tetap peduli pada kerjaan, tapi punya batasan yang harus dihormati.
Tips Menjalankan Quiet Quitting dengan Bijak
Kalau kamu tertarik buat menerapkan tren ini, ada beberapa hal yang bisa kamu perhatikan biar tetap profesional dan nggak salah paham sama atasan:
- Komunikasikan Ekspektasi: Pastikan kalau kamu punya komunikasi yang jelas sama atasan tentang peran dan tanggung jawab kamu. Jadi, kamu dan tim punya pemahaman yang sama tentang kontribusi kamu.
- Fokus pada Efisiensi Kerja: Biarpun kamu nggak ngambil tugas ekstra, tetep fokus buat ngehasilin kualitas kerja yang baik. Ini bisa jadi cara buat nunjukin kalau kamu tetap bertanggung jawab, meski dengan batasan yang sehat.
- Jangan Sampai Mengabaikan Perkembangan Diri: Quiet quitting bukan berarti kamu stop belajar atau berkembang. Kamu tetep bisa upgrade skill atau cari peluang pengembangan diri, selama itu nggak ngorbanin waktu pribadi kamu.
- Hormati Waktu di Luar Jam Kerja: Kalau udah waktunya pulang, bener-bener pulang! Jangan bawa kerjaan ke rumah, biar waktu santai kamu bener-bener efektif buat recharge.
- Pantau Kesehatan Mental: Ingat tujuan awal dari tren ini adalah buat jaga kesehatan mental kamu. Jadi, selalu perhatikan perasaan dan jangan ragu buat break atau istirahat kalau mulai merasa overwhelmed.
Kesimpulan: Quiet Quitting Bukan Hal Buruk, Tapi Bentuk Batasan Sehat
Di zaman yang makin cepat dan penuh tuntutan, quiet quitting jadi cara buat ngingetin kita bahwa hidup nggak cuma soal kerja dan produktivitas. Gen Z dengan tren ini ngajak kita buat lebih peka sama diri sendiri, lebih menghargai waktu dan kesehatan mental, tanpa harus mengorbankan karier.
Tetep profesional, jaga batasan, dan ingat: work-life balance itu hak setiap orang, dan kita semua berhak buat ngejalanin hidup yang seimbang!